• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Home
  • About
Duit Elit

Duit Elit

Revolusi Keuangan Pribadi

Kenapa Menabung Sulit Secara Psikologis? Ini Cara Mengubahnya

DuitElit.com - Revolusi Keuangan Pribadi

“Menabung itu mudah, asal disiplin.”

Pernah dengar kalimat itu? Sayangnya, kenyataannya jauh dari mudah.

Berdasarkan data OECD, lebih dari 60% orang dewasa merasa kesulitan menabung secara konsisten, bukan karena penghasilan yang kecil, tapi karena faktor psikologis!

Yup, otak kita memang punya cara aneh dalam memandang uang, dan sering kali, itu justru jadi penghalang utama.

Artikel ini akan mengupas kenapa menabung terasa berat walau niatnya kuat.

Kita akan bahas apa yang sebenarnya terjadi di dalam kepala kita saat mencoba menyimpan uang, dan tentu saja, strategi realistis untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan buruk ini.

Table of Contents

Toggle
  • Kenapa Otak Kita Tidak “Suka” Menabung?
  • Hambatan Psikologis yang Membuat Menabung Jadi Berat
  • Strategi Psikologis agar Menabung Jadi Lebih Mudah
  • Membangun Hubungan Emosional yang Sehat dengan Uang
  • Tips Praktis untuk Menabung Meski Penghasilan Pas-Pasan

Kenapa Otak Kita Tidak “Suka” Menabung?

Kecenderungan “tidak suka menabung” ternyata bukan cuma soal kurang disiplin.

Otak manusia memang secara alami tidak didesain untuk berpikir panjang soal uang, apalagi untuk menyimpannya.

Secara evolusi, otak manusia berkembang untuk bertahan hidup dari hari ke hari.

Nenek moyang kita hidup di lingkungan yang keras, di mana makanan dan keamanan itu serba tak pasti.

Jadi otak belajar untuk memprioritaskan kebutuhan jangka pendek.

Prinsipnya sederhana: kalau ada makanan sekarang, makan. Kalau ada sumber daya, ambil.

Simpan untuk nanti? Itu bukan prioritas, karena “nanti” bisa jadi tidak pernah datang.

Nah, pola itu masih terbawa sampai sekarang, termasuk dalam hal uang.

Menabung berarti menunda kesenangan saat ini demi manfaat di masa depan.

Tapi otak, khususnya sistem limbik dan bagian yang memproses emosi, lebih menyukai reward instan.

Misalnya, ketika Anda dapat gaji, rasanya menyenangkan kalau langsung belanja barang yang sudah lama diincar.

Menyimpan uang untuk pensiun yang masih 20 tahun lagi?

Rasanya hambar. Otak kita seperti bilang, “Nikmati sekarang saja.”

Lalu ada fenomena yang disebut ilusi kelangkaan.

Ketika uang terasa sedikit, logika seringkali memudar.

Saya pernah mengalami masa di mana saldo tabungan tinggal ratusan ribu rupiah.

Logikanya, saya harusnya lebih hemat.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya, saya jadi lebih impulsif, beli makanan mahal, seakan-akan itu bisa menghibur atau menyembuhkan stres.

Dan itu ternyata reaksi alamiah. Otak dalam kondisi kekurangan akan lebih fokus pada survival mode, bukan strategi jangka panjang.

Emosi juga sangat berperan dalam keputusan keuangan harian.

Stres, cemas, sedih, bahkan terlalu senang, semuanya bisa bikin kita sulit berpikir jernih.

Saya pernah belanja online hanya karena sedang lelah dan butuh hiburan. Rasanya seperti meredakan tekanan sejenak.

Tapi saat sadar tagihan kartu kredit membengkak, baru muncul rasa bersalah. Itu momen yang menyadarkan saya bahwa keputusan finansial sering kali tidak rasional, tapi emosional.

Mengetahui semua ini membuat saya jadi lebih paham dan lebih lembut pada diri sendiri.

Bukan karena saya lemah dalam mengatur uang, tapi karena memang otak saya perlu strategi khusus untuk “menipu” kecenderungan alaminya.

BACA JUGA:  Cara Cek Risiko Investasi Reksadana Sebelum Beli

Menabung tidak cukup hanya dengan niat, tapi juga butuh sistem yang bisa bekerja meskipun pikiran sedang lelah atau tergoda.

Hambatan Psikologis yang Membuat Menabung Jadi Berat

Banyak orang pernah berada di titik di mana setiap kali mencoba menabung, pasti gagal di tengah jalan.

Bukan karena tidak cukup uang, tapi tetap saja, akhir bulan selalu nihil.

Ternyata ada banyak hambatan psikologis yang selama ini banyak dari kita menganggap sepele.

Yang paling terasa itu FOMO – fear of missing out.

Misalnya, teman-teman ngajak staycation dadakan atau makan di tempat hits, dan saya tahu harusnya saya bilang tidak.

Tapi dalam hati muncul pikiran, “Mumpung ada kesempatan. Nanti nyesel.”

Padahal, setiap keputusan itu artinya saya mengorbankan rencana menabung.

Sosial media juga memperparah situasi.

Melihat orang lain liburan, beli gadget baru, atau minum kopi kekinian bisa membuat saya merasa ketinggalan.

Seolah kalau saya tidak ikut, hidup saya kurang seru.

Lalu ada yang disebut money scripts, ini semacam pola pikir tentang uang yang terbentuk sejak kecil.

Saya dibesarkan di keluarga yang sering bilang, “Uang itu harus dihabiskan, nanti rezeki datang lagi.”

Waktu kecil, itu terdengar meyakinkan. Tapi ternyata, pola ini menempel dan terbawa sampai dewasa.

Tanpa sadar, saya jadi merasa bersalah kalau menabung terlalu banyak, seolah saya pelit atau terlalu berhitung.

Stres dan kelelahan mental juga jadi penghambat besar.

Saya pernah di fase kerja lembur terus menerus, dan satu-satunya hal yang bikin saya “waras” waktu itu adalah belanja online.

Rasanya menyenangkan, tapi jelas tidak sehat buat dompet.

Stres menurunkan kemampuan otak kita buat ambil keputusan rasional.

Jadi wajar kalau kita jadi lebih konsumtif saat sedang lelah atau tertekan.

Dan ini yang paling susah: kebiasaan konsumtif yang sudah otomatis.

Saya sempat sadar bahwa saya sering checkout barang tanpa mikir.

Bukan karena butuh, tapi karena sudah jadi rutinitas, buka e-commerce, scroll, klik.

Kayak tangan saya udah hafal jalurnya, bahkan tanpa sadar.

Untuk memutus kebiasaan ini, saya sampai harus uninstall aplikasi belanja dan ganti kegiatan “nganggur” saya dengan baca buku atau olahraga ringan.

Kalau dipikir-pikir, hambatan ini bukan soal tidak tahu pentingnya menabung, tapi lebih ke pola bawah sadar yang sudah lama terbentuk.

Butuh waktu dan kesadaran penuh untuk mengubahnya.

Strategi Psikologis agar Menabung Jadi Lebih Mudah

Saya dulu tipe orang yang semangat menabung… tapi cuma di minggu pertama.

Setelah itu? Lupa, males, tergoda diskon, dan akhirnya duitnya lari entah ke mana.

Sampai akhirnya paham, saya nggak bisa cuma mengandalkan niat.

Saya butuh strategi yang cocok sama cara kerja otak saya sendiri dan itu ternyata harus psikologis banget pendekatannya.

Salah satu hal terbaik yang pernah saya lakukan adalah menerapkan sistem pay yourself first.

Artinya, setiap kali gajian, saya langsung “bayar” diri sendiri dulu, alias, langsung transfer ke rekening tabungan otomatis yang nggak bisa saya utak-atik dengan mudah.

Bahkan, saya pakai fitur autodebet biar nggak ada alasan lupa atau males.

BACA JUGA:  Investasi Emas Digital: Aman Nggak untuk Jangka Panjang?

Rasanya kayak ngerampas uang dari diri sendiri, tapi justru itu yang bikin efektif.

Karena uangnya udah “hilang” duluan sebelum saya punya kesempatan buat ngabisin.

Saya juga mulai bikin tujuan visual, dan ini tuh game-changer banget.

Saya tempel foto pantai impian di dekat meja kerja.

Bikin spreadsheet dengan progres tabungan buat uang muka rumah, pakai warna-warni biar semangat.

Visual itu membantu otak saya lebih “ngeh” bahwa saya bukan cuma nyimpen uang asal-asalan, saya lagi nyiapin sesuatu yang seru dan berarti.

Terus, saya pecah target jadi lebih kecil dan terukur.

Daripada nargetin “Rp10 juta setahun” (yang rasanya berat banget), saya bikin mini-goal: Rp27.500 per hari.

Kedengarannya sepele, ya? Tapi itu setara Rp10 juta juga dalam setahun. Dan lebih mudah dilacak, lebih ringan secara mental.

Saya juga mulai kasih reward ke diri sendiri. Tapi bukan reward impulsif yang bikin dompet menangis.

Misalnya, kalau berhasil konsisten nabung selama sebulan, saya izinkan diri saya beli makanan favorit atau nonton film tanpa rasa bersalah.

Reward ini bikin saya merasa proses menabung itu menyenangkan, bukan nyiksa.

Terakhir, saya download beberapa aplikasi keuangan yang punya fitur gamifikasi.

Ada yang kasih lencana, ada yang bikin grafik lucu, ada juga yang kayak ngajak kita tanding dengan diri sendiri.

Sederhana sih, tapi ternyata otak saya suka banget hal-hal yang terasa seperti main game.

Jadi intinya, kalau Anda merasa menabung itu susah, jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri.

Mungkin Anda cuma belum nemu cara yang cocok buat memanipulasi otak Anda agar mau menabung.

Membangun Hubungan Emosional yang Sehat dengan Uang

Saya pernah punya hubungan yang cukup toxic dengan uang.

Bukan karena saya boros banget atau nggak bisa ngatur, tapi karena setiap kali megang uang, yang muncul malah rasa cemas.

Seolah-olah uang itu musuh yang harus segera “dihilangkan” sebelum bikin masalah.

Padahal, uang itu netral. Justru sayalah yang membawa beban emosi sendiri dalam setiap keputusan finansial.

Momen yang paling membuka mata saya adalah waktu saya mulai menyadari emosi apa yang muncul saat saya menghabiskan uang.

Misalnya, kenapa saya ngerasa bersalah tiap belanja sesuatu buat diri sendiri, padahal itu kebutuhan?

Atau kenapa saya suka banget ngerasa “lega” setelah transfer uang ke orang lain, seolah itu satu-satunya cara saya bisa merasa berguna?

Saya mulai mencoba journaling keuangan, dan bukan cuma nyatet pengeluaran harian ya.

Saya juga tulis perasaan saya saat ngeluarin uang.

Misalnya: “Beli sepatu ini karena capek dan butuh pelampiasan” atau “Transfer ke orang tua rasanya bikin hati hangat.”

Dari situ saya mulai sadar pola emosi yang muncul, dan itu bantu banget buat ngelola keuangan dengan lebih sadar.

Salah satu latihan yang beneran ngubah cara saya lihat uang adalah mindfulness saat berbelanja.

Sekarang, sebelum checkout sesuatu, saya ambil waktu 30 detik untuk tanya ke diri sendiri: “Saya beli ini karena butuh, atau karena lagi bosen?”

BACA JUGA:  Uang vs Kebahagiaan: Sampai Titik Mana Uang Membuat Bahagia?

Kadang cuma dengan berhenti sejenak, saya jadi bisa nahan diri dari pembelian impulsif yang nggak penting-penting amat.

Lalu saya juga mulai mengganti narasi negatif soal uang.

Saya dulu sering bilang, “Uang saya tuh selalu habis.”

Tapi sekarang saya ubah jadi, “Saya sedang belajar mengatur uang dengan lebih baik.”

Ubah satu kalimat, efeknya besar banget ke mental.

Saya juga berhenti mikir uang itu “sumber stres”, dan mulai lihat dia sebagai alat bantu yang bisa saya kendalikan.

Yang paling penting adalah kasih ruang buat diri sendiri buat belajar.

Hubungan kita sama uang itu kayak hubungan dengan pasangan, nggak langsung harmonis, tapi bisa dibangun.

Dan itu dimulai dari kejujuran dan perhatian kecil setiap hari.

Anda berhak punya hubungan yang sehat, tenang, dan penuh kontrol terhadap uang.

Tips Praktis untuk Menabung Meski Penghasilan Pas-Pasan

Banyak orang berpikir, “Nabung? Nanti aja deh, penghasilan segini mana cukup buat hidup aja.”

Tapi setelah sekian kali kepepet, entah motor tiba-tiba mogok, gigi bolong, atau temen nikah dadakan, saya akhirnya nyadar.

Nggak peduli seberapa kecil penghasilan kita, selalu ada ruang buat menabung, asal niat dan strategi kita tepat.

Yang pertama saya ubah adalah mindset: menabung itu bukan soal jumlah, tapi soal kebiasaan.

Saya mulai dari menyisihkan 5% dari penghasilan. Ya, cuma 5%.

Kadang itu cuma Rp50.000 sebulan. Tapi ternyata itu jauh lebih baik daripada nol.

Dan setelah beberapa bulan, saya mulai naikkan pelan-pelan jadi 10%. Kuncinya? Konsisten, bukan besar-besaran.

Lalu saya coba metode yang ternyata cocok banget buat saya: metode amplop.

Jadi, tiap awal bulan, saya ambil uang tunai dan pisahkan ke dalam beberapa amplop: makan, transport, hiburan, dan satu amplop khusus tabungan.

Kalau amplopnya udah kosong, ya udah, selesai. Nggak ada drama tarik tunai tambahan.

Versi digitalnya juga bisa, kok, pakai dompet digital yang bisa bikin kategori pengeluaran.

Saya juga iseng ikut tantangan menabung 52 minggu.

Terlihat berat, tapi pas udah dijalanin, ternyata seru juga.

Minggu pertama nabung Rp10rb. Minggu kedua Rp20rb.

Naik terus tiap minggu sampai akhir tahun. Nggak kerasa, bisa ngumpulin lebih dari Rp1 juta.

Tantangan ini bikin proses menabung jadi kayak game, ada rasa pencapaian kecil tiap minggu.

Terus, saya mulai decluttering alias jual barang-barang tak terpakai.

Awalnya niatnya biar rumah nggak sempit, tapi ternyata uang hasil jualan lumayan juga.

Baju yang udah nggak muat, buku yang udah tamat, bahkan tripod yang nganggur bertahun-tahun saya jual semua di marketplace.

Hasilnya? Langsung masuk ke tabungan. Rasanya kayak dapet bonus yang nggak perlu kerja keras.

Intinya, jangan nunggu penghasilan naik dulu baru mulai nabung.

Justru kebiasaan nabung itu harus dibangun saat penghasilan masih kecil.

Karena kalau nggak bisa nyisihin Rp10.000 sekarang, besar kemungkinan kita juga nggak bakal nyisihin Rp1 juta nanti.[]

Terkait

  • 8 Kesalahan Keuangan yang Sering Dilakukan Anak Muda (Tanpa Sadar)
  • Strategi Mengelola Uang Bulanan untuk Freelancer & Pekerja Lepas
  • Cara Cek Risiko Investasi Reksadana Sebelum Beli
  • Uang vs Kebahagiaan: Sampai Titik Mana Uang Membuat Bahagia?
  • Investasi Modal Rp10 Ribu: Mitos atau Bisa Beneran?
  • Kenapa Banyak Orang Salah Paham soal Asuransi Unit Link?

Filed Under: Psikologi Uang Tagged With: investasi, menabung

Primary Sidebar

More to See

Strategi Mengelola Uang Bulanan untuk Freelancer & Pekerja Lepas

Kenapa Banyak Orang Salah Paham soal Asuransi Unit Link?

Copyright © 2025 · DuitElit.com