Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja informal dan freelance di Indonesia terus meningkat tiap tahun, tapi masih banyak yang kesulitan mengatur uang.
Saya sendiri pernah berada di fase keuangan yang jungkir balik.
Dapat proyek besar bulan ini, tapi bulan depan? Zonk.
Untungnya, dengan strategi yang tepat, hidup jadi jauh lebih tenang meski penghasilan nggak pasti.
Artikel ini membahas strategi mengelola keuangan bulanan bagi freelancer dan pekerja lepas, dari budgeting sampai cara siap menghadapi masa paceklik.
Simak dan praktikkan biar dompet tetap aman tiap bulan!
Tantangan Keuangan Freelancer dan Pekerja Lepas
Waktu pertama kali memutuskan jadi freelancer, saya pikir hidup bakal lebih santai.
Nggak ada atasan, bisa kerja sambil pakai celana pendek, dan ngatur waktu sendiri.
Tapi realitanya? Tantangan keuangan datang dari arah yang nggak saya duga-duga.
Yang paling bikin pusing itu soal penghasilan yang nggak tetap.
Bulan ini bisa dapat proyek gede dan uangnya cukup buat tiga bulan ke depan.
Tapi bulan berikutnya? Bisa jadi inbox sepi, klien pada ghosting.
Rasanya seperti naik roller coaster yang nggak tahu kapan turunnya.
Ini bikin saya susah banget bikin anggaran tetap.
Saya sempat coba bikin spreadsheet mingguan, niatnya bagus, tapi kenyataannya malah sering dilanggar karena job nggak konsisten.
Satu hal yang cukup berat juga adalah nggak adanya tunjangan seperti THR, BPJS, atau dana pensiun.
Saat teman-teman yang kerja kantoran update dapat THR dan bonus akhir tahun, saya cuma bisa senyum-senyum sambil buka e-wallet, berharap ada notifikasi masuk.
Jujur, ini sempat bikin saya minder, apalagi waktu lebaran datang dan kebutuhan membengkak.
Masalah psikologisnya juga nggak main-main.
Kadang saya bangun tidur dengan perasaan cemas, mikirin: “Kalau bulan depan nggak dapat klien, gimana ya bayar sewa atau cicilan?”
Ketidakpastian ini bisa bikin overthinking tiap malam.
Saya juga sempat mengalami burnout gara-gara ngejar target keuangan pribadi yang saya sendiri nggak ukur dengan realistis.
Proyek ditelen semua, jam tidur kacau, makan asal-asalan.
Akhirnya bukan cuma dompet yang kosong, tapi energi juga habis.
Makanya sekarang saya belajar lebih hati-hati.
Saya pisahkan dana operasional dan pribadi, mulai bikin dana darurat (meskipun kecil), dan belajar untuk bilang “nggak” ke proyek yang bikin stres.
Tantangan keuangan sebagai freelancer itu nyata banget, tapi bukan berarti nggak bisa diatasi.
Yang penting, Anda kenali dulu pola penghasilan dan tantangan uniknya.
Setelah itu, baru bisa mulai nyusun strategi yang cocok dengan ritme kerja Anda sendiri.
Cara Membuat Anggaran Bulanan Meski Penghasilan Tidak Pasti
Dulu saya beranggapan bikin anggaran itu cuma buat orang kantoran.
Tapi setelah beberapa bulan hidup sebagai freelancer, dengan penghasilan yang datang nggak tentu arah, saya sadar, justru sayalah yang paling butuh anggaran bulanan.
Tanpa itu, gaji dari proyek besar bisa lenyap dalam sekejap, dan akhir bulan tinggal nunggu keajaiban.
Yang paling membantu saya adalah pakai konsep “penghasilan minimum rata-rata.”
Jadi saya ambil rata-rata dari penghasilan terendah selama 6 bulan terakhir, dan itulah yang saya jadikan patokan untuk bikin anggaran.
Misalnya, dari 6 bulan terakhir, penghasilan terendah saya adalah Rp4 juta, nah, saya atur semua kebutuhan bulanan berdasarkan angka itu.
Jadi kalau bulan ini dapat Rp8 juta, yang Rp4 jutanya langsung dialihkan ke tabungan atau investasi. Sisanya buat jaga-jaga.
Lalu saya pakai metode 50/30/20. Ini simpel banget: 50% buat kebutuhan (makan, sewa, listrik), 30% buat keinginan (nongkrong, Netflix, nambah alat kerja), dan 20% buat tabungan atau bayar utang.
Tapi ya… fleksibel aja, kadang bisa berubah jadi 60/20/20 tergantung keadaan. Yang penting ada batasnya biar nggak kalap.
Kesalahan saya dulu adalah bikin anggaran berdasarkan “harapannya dapet segini,” bukan realita.
Sekarang saya fokus pada kebutuhan dulu, bukan keinginan.
Kalau udah aman untuk makan, bayar listrik, dan bayar BPJS mandiri, baru saya pikirin jajan kopi atau upgrade gadget.
Dan satu hal penting: tiap kali dapet pemasukan gede, saya langsung sisihkan minimal 10–20% buat dana cadangan.
Nggak nunggu “nanti aja pas akhir bulan,” karena kalau nunggu ya biasanya habis duluan.
Oh ya, aplikasi budgeting juga ngebantu banget.
Saya pribadi pakai Money Lover karena bisa atur pos pengeluaran dengan rinci.
Teman saya suka Toshl, katanya tampilannya lucu.
Yang penting, Anda nyaman pakainya dan bisa rutin mencatat.
Awalnya, bikin anggaran itu terasa ribet dan bikin stres.
Tapi setelah jalanin 2–3 bulan, jadi kebiasaan yang malah bikin tenang.
Setidaknya saya tahu, meski klien bulan depan belum ada, saya masih bisa hidup tanpa panik.
Pisahkan Rekening: Trik Sederhana Tapi Powerful
Awal-awal jadi freelancer, saya cuma punya satu rekening.
Semua masuk situ: uang dari klien, belanja bulanan, bayar tagihan, bahkan jajan boba.
Dan, itu bikin saya sering kecele.
Saya pikir saldo masih banyak, padahal sebagian besar itu sebenarnya bukan buat saya pakai sendiri, itu uang klien atau buat bayar kerjaan tim.
Akhirnya saya mulai pisahkan rekening.
Ini salah satu trik keuangan paling sederhana tapi dampaknya gede banget.
Sekarang saya punya tiga rekening utama: satu buat operasional (biaya harian + tagihan), satu lagi buat tabungan dan dana darurat, dan satu khusus buat investasi atau rencana besar (kayak upgrade laptop atau ikut kursus mahal).
Langkah berikutnya yang saya syukuri adalah pisahkan rekening uang klien dan uang pribadi.
Jadi kalau saya lagi pegang proyek besar dan harus bayar editor, ilustrator, atau beli plugin khusus, saya nggak kecampur sama uang jajan sendiri.
Ini bikin saya jauh lebih tenang karena nggak khawatir tiba-tiba “eh, saldo kurang buat bayar orang.”
Awalnya saya mikir, “ngapain repot-repot banyak rekening?”
Tapi ternyata, kalau semua dicampur, jadi susah tahu mana uang buat hidup dan mana yang harus disimpan.
Belum lagi kalau lupa bahwa Rp3 juta di rekening itu ternyata buat bayar kerjaan minggu depan. “Semua dalam satu rekening” itu jebakan banget.
Sekarang saya pakai fitur auto-transfer biar setiap kali uang masuk dari klien, langsung kebagi: 60% ke operasional, 30% ke tabungan, 10% ke rekening investasi.
Kadang angkanya saya ubah sesuai proyek, tapi sistemnya tetap jalan.
Buat Anda yang bingung mau mulai dari mana, saya rekomen coba pakai bank digital kayak Jenius, SeaBank, atau blu by BCA.
Mereka punya fitur sub-account atau kantong-kantong uang yang bisa dibagi-bagi otomatis.
Plus, nggak ada biaya admin dan gampang dipantau lewat HP.
Percaya deh, memisahkan rekening bukan cuma soal teknis, tapi soal menjaga disiplin.
Buat Dana Darurat dan Dana Paceklik
Saya pernah ngalamin bulan-bulan di mana nggak ada satu pun proyek masuk.
Nggak ada invoice yang cair, nggak ada DM dari klien.
Sementara itu, listrik tetap harus dibayar, makan tetap perlu, dan kontrakan nggak mau tahu soal “lagi sepi kerjaan.”
Hikmahnya, sebagai freelancer, punya dana darurat itu wajib banget, meskipun ternyata dana darurat aja nggak cukup.
Nah, akhirnya saya mulai kenal konsep dana paceklik. Ini beda ya.
Kalau dana darurat dipakai buat kejadian luar biasa (misalnya: sakit, laptop rusak, atau mendadak harus bantu keluarga), dana paceklik itu buat bertahan hidup pas lagi nggak ada kerjaan.
Saya pernah pakai dana paceklik pas sebulan penuh nggak ada klien karena saya lagi rebranding dan ngerjain portofolio.
Untungnya waktu itu saya udah nyiapin 2 bulan biaya hidup, jadi masih bisa nafas meskipun nggak ada pemasukan.
Waktu awal bangun dua dana ini, saya nggak langsung punya tabungan belasan juta. Saya mulai kecil-kecilan.
Setiap kali dapat proyek, saya sisihkan minimal 10% buat dana darurat, dan 10% lagi buat dana paceklik.
Kadang kalau dapet proyek besar, saya naikkan jadi 20%.
Prinsipnya: saat rezeki sedang deras, jangan lupa nimbun buat nanti.
Oh ya, banyak orang ngira tabungan biasa itu udah cukup.
Tapi saya belajar, tabungan jangka pendek untuk liburan beda banget sama dana darurat dan dana paceklik.
Dana liburan bisa dipakai atau dihabiskan, tapi dana darurat dan paceklik itu wajib dijaga.
Kalau bisa, jangan disentuh kecuali keadaan benar-benar mendesak.
Saya simpan dua dana itu di tempat yang likuid dan mudah diakses, tapi tetap ada sedikit bunga harian biar nggak nganggur.
Contohnya: rekening tabungan khusus, atau e-wallet seperti GoPayLater Cicil (yang bisa tarik bunga harian kecil), dan akun blu Saving Pocket.
Pokoknya jangan taruh di saham atau reksa dana (kecuali reksa dana pasar uang) karena nilainya bisa turun pas kita lagi butuh-butuhnya.
Begitu punya dana darurat dan paceklik, rasa panik saat nggak ada job itu jauh berkurang.
Rasanya kayak punya pelampung di tengah laut. Masih harus cari kapal, sih… tapi setidaknya nggak tenggelam.
Cara Menentukan Gaji Bulanan Sendiri
Salah satu hal yang paling bikin hidup saya berantakan sebagai freelancer adalah: nggak punya gaji tetap.
Setiap kali uang masuk dari klien, rasanya kayak jackpot, langsung belanja, makan enak, upgrade alat kerja.
Tapi… pas bulan berikutnya nggak ada proyek, baru deh nyesel karena saldo tinggal receh.
Setelah berulang kali mengalami roller coaster keuangan itu, saya mulai belajar tentang konsep “gaji bulanan untuk freelancer.”
Jadi idenya, meskipun penghasilan saya naik-turun, tetap ada jumlah tetap yang saya “gaji” ke diri saya sendiri tiap bulan.
Pertama-tama, saya kumpulkan data penghasilan 6 bulan terakhir.
Dari situ saya ambil rata-rata, bukan yang tertinggi, tapi yang realistis.
Misalnya, kalau totalnya Rp36 juta dalam 6 bulan, berarti rata-ratanya Rp6 juta per bulan.
Nah, angka itulah yang jadi patokan gaji tetap bulanan saya.
Kalau suatu bulan saya dapat Rp8 juta, saya tetap “menggaji” diri saya Rp6 juta.
Sisanya? Saya simpan sebagai bonus, tabungan, atau dialihkan ke investasi.
Kadang juga saya pakai buat top-up dana darurat atau paceklik.
Prinsipnya: stabilkan pengeluaran, bukan kejar-kejaran sama pemasukan.
Saya juga bikin simulasi budget bulanan. Jadi saya catat semua pengeluaran rutin: sewa kontrakan Rp1,2 juta, listrik Rp300 ribu, makan Rp1,5 juta, transportasi Rp500 ribu, internet Rp400 ribu, dan sisanya buat kebutuhan lain.
Dari situ, saya tahu berapa minimum “gaji” yang saya butuhkan untuk hidup layak tanpa stres.
Dan ya, ini bukan cuma soal teknis. Dengan cara ini, mindset saya jauh lebih tenang.
Saya nggak panik lagi lihat saldo besar karena tahu itu bukan semuanya buat saya pakai.
Saya juga lebih bisa menahan diri buat nggak belanja impulsif, karena saya tahu saya punya “jatah” sendiri setiap bulan.
Buat Anda yang masih merasa keuangan freelance itu liar dan nggak bisa ditebak, coba deh tentukan gaji sendiri.
Rasanya kayak jadi karyawan… tapi bosnya adalah Anda sendiri.
Tips Menabung dan Investasi untuk Freelancer
Kalau ditanya apa hal paling sulit waktu saya baru mulai jadi freelancer, jawabannya gampang: menabung.
Soalnya, pas uang masuk gede, rasanya pengen self-reward terus.
Tapi pas job sepi, baru sadar, loh, kok nggak ada sisa sama sekali?
Dari situ saya harus mulai serius soal nabung dan investasi… atau saya bakal kejebak siklus “dapet-boros-nyesel” terus-menerus.
Saya mulai dari yang paling sederhana dan aman: reksa dana pasar uang.
Kenapa? Karena risikonya rendah dan bisa dicairkan kapan aja.
Pas banget buat freelancer yang cash flow-nya naik turun.
Saya juga pernah coba deposito, lumayan buat dana paceklik karena bisa “ditahan” beberapa bulan.
Setelah itu, saya coba platform kayak Bibit, Ajaib, dan Pluang.
Saya suka Bibit karena ada fitur “Robo Advisor” yang bantu nyesuaiin investasi sama profil risiko.
Saya set otomatis nyisihin 20% dari setiap proyek buat masuk ke situ.
Kadang nggak nyampe 20% sih, tapi minimal ada yang disisihkan.
Intinya: jangan nunggu banyak dulu baru investasi. Sedikit-sedikit asal konsisten, hasilnya tetap terasa.
Saya juga belajar soal diversifikasi. Dulu saya taruh semua di satu jenis produk, misalnya reksa dana campuran aja.
Tapi ternyata, waktu marketnya jelek, semua kena.
Sekarang saya pecah jadi beberapa: pasar uang, pendapatan tetap, dan sedikit saham.
Nggak gede-gedean, tapi lebih aman.
Plus, ada juga sebagian saya taruh di e-wallet yang kasih bunga harian kayak SeaBank atau Line Bank.
Dan yang nggak kalah penting: saya review semua portofolio tiap 3 bulan.
Ada yang saya tambahin, ada yang saya tarik kalau cash lagi ketat.
Saya cocokkan lagi sama kebutuhan, kalau lagi nabung buat ganti laptop, saya lebihin di tabungan likuid.
Kalau lagi aman, saya tambahin yang jangka panjang.
Buat Anda yang masih mikir “freelancer mana bisa nabung atau investasi?”, percayalah: justru karena kita nggak punya jaminan tetap, kita harus lebih disiplin.
Nggak harus langsung paham semua soal pasar modal. Mulai dari yang kecil dan gampang dulu.
Lindungi Diri dengan Asuransi Mandiri
Saya pernah ngalamin kecelakaan kecil pas lagi kerja di luar kota, bukan yang parah banget, tapi cukup bikin saya harus ke rumah sakit dan bed rest seminggu.
Dan waktu itu, rasanya nyesek banget karena nggak punya BPJS kantor, nggak punya asuransi pribadi.
Semua biaya saya tanggung sendiri. Totalnya? Hampir Rp2 juta cuma buat periksa, rontgen, dan obat.
Sejak itu, saya sadar satu hal: jadi freelancer artinya harus jadi HRD buat diri sendiri.
Karena kita nggak dapat tunjangan kayak karyawan, nggak ada BPJS, nggak ada asuransi kantor, maka ya harus daftar mandiri.
Saya mulai dari BPJS Kesehatan Mandiri.
Murah, dan buat kondisi darurat atau rawat inap, itu sangat membantu.
Emang prosesnya kadang ribet, tapi lebih baik punya daripada nggak sama sekali.
Selain BPJS, saya juga mulai cari asuransi kesehatan dan jiwa yang cocok untuk pekerja lepas.
Saya cari yang premi bulanannya fleksibel, bisa disesuaikan pendapatan.
Ada beberapa produk yang mulai dari Rp100 ribuan per bulan, tapi sudah cover rawat inap dan santunan harian.
Menurut saya, yang penting itu baca polisnya dengan cermat.
Jangan cuma lihat premi murah, tapi cek juga manfaat dan pengecualiannya.
Jangan sampai baru klaim, eh ternyata nggak ditanggung karena hal sepele yang luput dibaca.
Saya juga sempat pakai asuransi mikro, kayak produk-produk dari fintech atau bank digital.
Biasanya premi cuma Rp10–20 ribu per bulan, tapi bisa kasih perlindungan dasar buat kecelakaan atau rawat jalan.
Ini cocok banget buat freelancer yang baru mulai, yang penting udah punya “tameng” finansial meskipun kecil.
Ngomongin asuransi memang nggak se-seksi ngomongin investasi.
Tapi kalau sakit atau ada musibah, tabungan bisa ludes dalam semalam. Dan itu kejadian nyata.
Sekarang saya jauh lebih tenang karena tahu kalau hal buruk terjadi, saya nggak sendirian. Saya dilindungi.[]