“Uang tidak bisa membeli kebahagiaan.” Tapi… bukankah hidup juga sulit kalau dompet kosong?
Sebuah studi dari Princeton University menemukan bahwa kebahagiaan memang meningkat seiring kenaikan penghasilan, tapi hanya sampai titik tertentu.
Di Indonesia, titik itu bisa jadi sangat berbeda tergantung gaya hidup, beban tanggungan, dan ekspektasi sosial.
Seseorang bisa saja pernah berada di dua sisi: saat penghasilan pas-pasan tapi hidup terasa ringan, dan saat gaji naik tapi justru stres juga ikut melonjak!
Jadi, sebenarnya seberapa besar peran uang dalam menentukan kebahagiaan?
Artikel ini akan bahas tuntas dari sudut pandang ilmiah, psikologis, hingga pengalaman sehari-hari.
Hubungan Uang dan Kebahagiaan Menurut Riset
Waktu pertama kali baca riset Daniel Kahneman, saya manggut-manggut.
Katanya, kebahagiaan meningkat seiring penghasilan… tapi cuma sampai titik tertentu.
Di studi awalnya, angka magis itu sekitar USD 75.000 per tahun, kalau dikonversi kasar, sekitar Rp90–100 juta per bulan.
Tapi jangan langsung minder, itu data dari Amerika Serikat, bukan Indonesia.
Lalu muncul riset baru dari Matthew Killingsworth yang bilang, “Eh, tunggu dulu. Kebahagiaan bisa terus naik, bahkan setelah angka itu.”
Nah, bingung kan? Saya juga.
Tapi setelah ngulik lebih dalam, ternyata yang dimaksud kebahagiaan itu beda.
Kahneman bicara soal emotional well-being, emosi harian kayak stres, sedih, senang.
Sedangkan Killingsworth ngomongin life satisfaction, alias penilaian besar soal hidup kita secara keseluruhan.
Dari situ intinya adalah bahwa ini bukan cuma soal angka.
Misalnya, saya pernah ada di fase penghasilan sekitar Rp10 juta per bulan, tinggal di kota kecil, nggak banyak cicilan.
Dan surprisingly, saya ngerasa cukup.
Tapi ketika gaji naik ke Rp20–25 juta, pindah ke kota besar, tuntutan sosial ikut naik.
Acara nikahan saban minggu, arisan, beli mobil, upgrade gaya hidup, stress malah nambah!
Budaya kita juga unik. Di Indonesia, penghasilan sering dianggap bukan cuma untuk diri sendiri.
Ada orang tua, adik, bahkan sepupu yang ikut “mengandalkan”.
Ekspektasi keluarga kadang lebih berat dari tagihan listrik.
Jadi, batas kebahagiaan versi Amerika bisa jadi nggak relevan buat kita.
Menurut saya, pertanyaannya bukan “berapa cukup untuk bahagia?” tapi “berapa cukup untuk kamu?”
Karena beda orang, beda kondisi. Seseorang dengan Rp15 juta bisa merasa bahagia banget, sementara yang lain dengan Rp40 juta tetap merasa kurang karena tekanan lingkungan dan standar hidup yang dia tetapkan sendiri.
Riset memang penting. Tapi pengalaman dan konteks pribadi jauh lebih berpengaruh.
Uang bisa beli kenyamanan, iya. Tapi apakah dia bisa beli rasa damai? Hmm, belum tentu.
Kapan Uang Mulai Kehilangan Dampaknya Terhadap Kebahagiaan?
Banyak orang berpikir makin banyak uang, makin bahagia. Titik.
Tapi ternyata, ada batas tak terlihat di mana uang berhenti membawa kebahagiaan tambahan.
Pas awal naik gaji dari Rp5 juta ke Rp10 juta sebulan, rasanya luar biasa.
Bisa makan di luar tanpa mikir, beliin orang tua sesuatu, dan ada sisa buat nabung.
Tapi waktu gaji naik lagi ke Rp20 juta… ya, senang sih, tapi nggak “dua kali lebih bahagia.” Malah kadang lebih stres.
Ternyata itu yang disebut diminishing return, setiap tambahan uang punya dampak kebahagiaan yang makin kecil.
Masalahnya bukan uangnya, tapi biaya ikutannya. Gaji naik, lifestyle juga ikut loncat.
Temen ngajak staycation ke hotel bintang 4, bukan villa murah lagi.
Sepupu komen, “Udah gaji segini masa masih naik motor?” Lalu mulai mikir cicilan mobil.
Jadi, bukan cuma pengeluaran yang naik, tekanan sosial juga ikut duduk manis di pundak.
Saya pernah ngobrol bareng temen-temen lama dari SMA.
Ada yang penghasilannya Rp8 juta, ada yang Rp50 juta.
Tapi yang penghasilannya kecil malah kelihatan lebih rileks.
Dia bilang, “Yang penting cukup buat makan, sewa rumah, dan jalan seminggu sekali. Sisanya? Hidup bukan lomba.”
Dan itu ngena banget. Kadang kita nggak sadar udah masuk ke hedonic treadmill, saat kita terbiasa dengan kemewahan baru, lalu merasa “biasa aja.”
Beli HP Rp15 juta? Senang dua minggu, setelah itu jadi HP biasa.
Upgrade apartemen? Awal bangga, tapi beberapa bulan kemudian mulai bandingkan dengan yang lebih luas. Dan begitu terus.
Buat saya sekarang, kebahagiaan datang dari punya kendali atas waktu dan hidup, bukan dari seberapa mahal barang yang saya punya.
Jadi kalau kamu lagi kejar gaji lebih besar, tanya juga: “Apa yang sebenarnya saya kejar? Bahagia… atau validasi?”
Faktor Lain yang Lebih Berpengaruh dari Uang
Banyak orang sibuk ngejar penghasilan dan berpikir semua akan beres kalau angka di rekening naik.
Tapi di satu titik saya mikir ulang: saya pernah dapat proyek besar, dibayar lumayan banget… tapi saya ngerasa kosong.
Nggak ada yang bisa saya ajak ngobrol, badan capek, dan hidup kayak robot.
Itu pertama kali saya benar-benar sadar bahwa uang bukan segalanya.
Justru, hubungan sosial lebih menenangkan daripada bonus tahunan.
Saya pernah ngerasa lebih bahagia makan pecel bareng teman lama, dibanding makan steak sendiri di resto mahal.
Ada penelitian juga yang bilang bahwa orang dengan relasi sosial kuat cenderung hidup lebih lama dan lebih puas.
Jadi kalau kamu punya sahabat yang bisa diajak curhat, itu investasi kebahagiaan paling mahal.
Lalu soal kesehatan mental dan fisik, duh, ini penting banget.
Saat saya burnout, nggak tidur cukup, dan stres kerja, duit jadi nggak ada rasanya.
Bahkan liburan ke Bali pun terasa hambar karena pikiran sumpek.
Sejak itu saya mulai rutin jalan pagi, dan meditasi 5 menit tiap malam. Efeknya? Lebih damai.
Saya juga belajar soal rasa syukur dan tujuan hidup.
Waktu hidup saya cuma soal kerja, kerja, kerja, saya ngerasa kosong, walaupun gaji naik terus.
Tapi begitu saya mulai bikin waktu buat bantu orang lain, nulis, atau sekadar refleksi diri, saya merasa lebih “utuh”.
Bukan berarti jadi religius, tapi lebih ke tahu apa yang saya jalani itu ada maknanya.
Dan satu hal yang paling saya jaga sekarang: waktu luang dan kendali atas hidup sendiri.
Dulu saya rela kerja lembur tiap hari demi cuan.
Sekarang saya paham, waktu buat baca buku di pagi hari atau sore bareng keluarga nilainya jauh lebih tinggi.
Uang bisa dicari, tapi waktu? Nggak bisa diulang.
Jadi, kalau kamu merasa belum bahagia meski penghasilan udah naik, coba cek hal-hal ini.
Bisa jadi bukan uangnya yang kurang, tapi jiwanya yang kelelahan.
Cara Mengelola Uang Agar Memberi Dampak Positif pada Kebahagiaan
Satu pelajaran paling besar soal keuangan: cara kita mengelola uang jauh lebih penting daripada jumlahnya.
Serius. Saya pernah ada di fase gaji pas-pasan tapi hidup tenang, dan pernah juga punya penghasilan dua kali lipat tapi kepala panas tiap hari.
Bedanya? Cara ngatur duitnya.
Pertama-tama, saya belajar pentingnya anggaran yang realistis, tapi tetap kasih ruang buat “self-reward”.
Dulu saya terlalu hemat, sampai-sampai nggak berani ngopi atau beli buku yang saya suka.
Akhirnya malah jadi stres dan gampang iri liat orang lain.
Sekarang, saya bikin pos kecil di anggaran bulanan khusus buat hal-hal yang bikin hati senang, entah itu makan sushi seminggu sekali, atau beli lilin aromaterapi.
Nggak besar, tapi efeknya nyata.
Lalu saya mulai geser mindset: prioritaskan pengalaman, bukan barang.
Alih-alih beli gadget baru, saya pakai uang buat short getaway bareng pasangan atau ngajak ibu nonton.
Dan jujur, momen itu jauh lebih membekas daripada punya barang yang akhirnya cuma masuk laci.
Kebahagiaan dari pengalaman itu lebih tahan lama.
Satu hal krusial yang nggak saya skip: dana darurat.
Setelah pernah ngalamin laptop rusak pas akhir bulan tanpa tabungan, saya tahu rasanya panik dan malu minjem duit.
Sekarang saya punya dana darurat setara 4 bulan pengeluaran.
Bukan cuma buat kondisi darurat, tapi juga bikin saya tidur lebih nyenyak.
Ada rasa tenang, peace of mind, yang susah dijelasin.
Dan jangan remehkan efek berbagi.
Saya pernah iseng traktir ojol yang keliatan capek, atau transfer kecil ke teman yang lagi kesulitan. Rasanya hangat banget.
Studi pun bilang, donasi bisa ningkatin kebahagiaan lebih dari beli sesuatu buat diri sendiri. Dan saya percaya itu.
Yang terakhir, dan ini penting: hindari utang konsumtif.
Saya pernah punya cicilan kartu kredit karena FOMO beli gadget, dan tiap bulan bayar bunganya bikin saya muak sendiri.
Uangnya kebuang, dan mental saya ikut terkuras.
Sekarang saya belajar sabar dan nabung dulu, ternyata nggak seburuk yang saya kira.
Uang bisa bantu kita bahagia, asal kita yang kendalikan, bukan sebaliknya.
Cerita Orang-Orang dengan Penghasilan Berbeda
Kadang kita berkhayal, “Andai saja gaji gue Rp50 juta per bulan, pasti hidup bahagia banget.”
Tapi kenyataannya, angka besar belum tentu artinya hati tenang.
Saya pernah ngobrol panjang lebar sama beberapa teman dari latar belakang finansial berbeda dan kemudian paham bahwa bahagia itu bukan soal angka.
Pertama, ada si A. Gajinya UMR, sekitar Rp4,5 juta per bulan, kerja di koperasi kecil dekat rumah.
Tapi dia tinggal sama orang tua, nggak ada cicilan, dan hidupnya super ringan.
Setiap minggu dia masih sempat jalan pagi, bantu di masjid, dan ngopi santai di warung.
Dia bilang, “Rejeki itu bukan cuma uang, tapi juga waktu dan ketenangan.”
Dan dia beneran tampak bahagia, nggak kelihatan sibuk ngejar validasi kayak banyak dari kita.
Lalu ada si B. Seorang manajer senior di startup besar, penghasilannya Rp50 jutaan.
Tapi waktu saya ketemu dia di café, matanya capek banget.
“Gue bangun jam 5, tidur jam 1. Setiap hari Zoom meeting. Weekend pun standby,” katanya.
Dia punya mobil baru, rumah di BSD, dan liburan ke Jepang dua kali setahun, tapi katanya, “Gue rindu bisa tidur siang tanpa gangguan.”
Saya juga pernah denger cerita dari seorang freelancer yang penghasilannya fluktuatif, kadang Rp3 juta, kadang Rp30 juta.
Tapi karena terbiasa “nggak pasti”, dia jadi jago ngatur uang.
Nggak boros pas lagi dapat banyak, dan tetap tenang pas pendapatan seret.
“Kuncinya bukan di berapa yang masuk, tapi berapa yang lo tahan buat nggak dikeluarin,” katanya sambil ketawa.
Lalu ada pengusaha kecil, pemilik warung kopi rumahan. Nggak viral, nggak besar, tapi stabil.
Tiap pagi dia antar anak sekolah, siang buka warung, malam ngobrol bareng istri sambil nyeruput kopi.
Katanya, “Gue nggak kaya, tapi cukup. Dan cukup itu… ya, ternyata bikin bahagia.”
Dari semua cerita itu, kita bisa belajar satu hal: penghasilan tinggi nggak otomatis bikin hidup lebih baik.
Justru yang sering bikin kita tenang adalah gaya hidup yang sesuai, bukan gaya hidup yang “wah”.
Berapa Banyak Uang yang Kita Butuhkan untuk Bahagia?
Pertanyaan ini bisa bikin penasaran banyak orang: berapa sih uang yang benar-benar cukup untuk bikin saya bahagia?
Saya coba cari jawabannya di Google, baca buku finansial, sampai ikut webinar.
Tapi lama-lama saya ngerti… nggak ada angka pasti. Karena setiap orang punya versi “cukup” yang beda.
Saya mulai dari hal paling dasar: membedakan kebutuhan dan keinginan.
Makan nasi dan sayur itu kebutuhan. Makan di resto Instagramable tiga kali seminggu itu keinginan.
Punya rumah kecil yang layak itu kebutuhan.
KPR rumah mewah biar “nggak malu” sama temen itu… ya, keinginan yang kadang dibungkus gengsi.
Dari situ saya mulai hitung ulang: berapa sih pengeluaran rutin saya tiap bulan?
Listrik, makan, transport, nabung, hiburan ringan.
Ketemulah angka yang saya sebut “Enough Number”, angka cukup versi saya.
Bukan angka ideal buat orang lain, tapi angka yang bikin saya tenang, nggak dikejar utang, dan masih bisa senyum di akhir bulan.
Dan yang paling mengubah hidup saya: melihat uang sebagai alat, bukan tujuan.
Saya dulu kerja keras hanya demi naik gaji, lalu capek, lalu naik lagi.
Siklusnya nggak habis-habis. Tapi begitu saya pakai uang untuk beli waktu, beli kedekatan, dan beli ketenangan… saya merasa lebih hidup.
Sekarang, saya coba pelihara mindset finansial yang sehat.
Nggak harus punya segalanya. Yang penting, cukup untuk kebutuhan, ada ruang buat bersyukur, dan hidup tetap punya arah.
Karena pada akhirnya, kebahagiaan bukan soal jadi paling kaya, tapi soal jadi paling damai dengan apa yang kita punya dan siapa yang kita jalani hidup bersama.
Kalau masih mencari angka cukupmu, mulai aja dari pertanyaan simpel: berapa yang kamu butuhkan agar bisa tidur nyenyak dan bangun dengan senyum?
Jawaban itu lebih berharga daripada semua grafik keuangan di dunia.[]