• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Home
  • About
Duit Elit

Duit Elit

Revolusi Keuangan Pribadi

8 Kesalahan Keuangan yang Sering Dilakukan Anak Muda (Tanpa Sadar)

DuitElit.com - Revolusi Keuangan Pribadi


“Gaji langsung habis dalam seminggu? Kamu tidak sendiri!”

Menurut data OJK, lebih dari 70% anak muda Indonesia belum memiliki perencanaan keuangan yang matang.

Banyak dari mereka melakukan kesalahan finansial berulang kali, tanpa sadar!

Artikel ini akan mengulas kesalahan keuangan paling umum yang sering dilakukan anak muda dan bagaimana cara menyiasatinya.

Table of Contents

Toggle
  • Tidak Punya Anggaran Bulanan
  • Menganggap Tabungan = Sisa Uang
  • Gaya Hidup Konsumtif Demi FOMO
  • Terlalu Cepat Ambil Cicilan
  • Tidak Punya Dana Darurat
  • Malas Belajar Soal Keuangan
  • Tertipu Investasi Abal-Abal
  • Mengabaikan Asuransi Sejak Dini
    • 1. Asuransi Kesehatan
    • 2. Asuransi Jiwa (Term Life)

Tidak Punya Anggaran Bulanan

Waktu pertama kali kerja dan mulai dapet gaji sendiri, saya pikir saya bebas ngeluarin uang sesuka hati.

“Kan belum punya tanggungan,” begitu saya bilang ke diri sendiri.

Tapi ya ampun… sebulan pertama, gaji saya lenyap dalam waktu 12 hari.

Bener-bener enggak sadar ke mana perginya.

Itu momen pertama saya sadar: tidak punya anggaran bulanan itu bahaya banget.

Saat Anda nggak punya rencana, uang bakal habis bukan karena kebutuhan, tapi karena impuls.

Ngopi tiap sore, jajan online yang katanya “cuma 30 ribu,” eh lama-lama ngumpul jadi jutaan. Serius.

Masalahnya, banyak anak muda merasa belum waktunya bikin budget.

Ada anggapan: budgeting itu buat orang yang sudah nikah, punya cicilan rumah, atau anak sekolah.

Padahal justru saat pengeluaran masih sedikit merupakan waktu terbaik untuk belajar ngatur uang.

Saya belajar itu dengan cara yang agak menyakitkan, yaitu bokek menjelang akhir bulan, berulang kali.

Akhirnya saya mulai nyoba bikin anggaran yang simpel banget.

Enggak pakai aplikasi ribet. Saya buka Excel, lalu bagi ke dalam tiga kategori:

  • Kebutuhan (50%): makan, transportasi, pulsa, uang kos
  • Tabungan & Investasi (30%): langsung saya transfer begitu gajian
  • Senang-senang (20%): buat hangout, belanja, nonton

Awalnya nggak selalu pas. Kadang saya overbudget di bagian senang-senang, tapi saya belajar buat nyesuaiin.

Kuncinya fleksibel. Budget bukan penjara, tapi peta. Kalau Anda nyasar, bisa balik arah.

Saran saya: jangan tunggu “nanti” buat mulai budgeting.

Bahkan kalau gaji Anda cuma Rp2 juta, tetap penting buat tahu ke mana perginya.

Anda bisa mulai pakai metode cash envelope digital (pakai e-wallet yang terpisah untuk tiap pos), atau gunakan tools gratis kayak Google Sheets atau aplikasi seperti Money Lover.

Dampaknya luar biasa. Saya jadi lebih tenang, enggak panik akhir bulan.

Bisa mulai nabung buat liburan tanpa harus ngutang. Dan yang paling penting: saya jadi lebih kenal diri sendiri.

Ternyata saya itu boros banget buat jajan boba dan langganan streaming yang jarang saya pakai.

Jadi kalau Anda masih mikir “ah, belum butuh bikin anggaran,” hati-hati.

Kadang kita enggak sadar uang bocor bukan karena besarannya, tapi karena enggak ada arahnya.

Coba deh, bikin anggaran simpel minggu ini. Enggak harus sempurna, yang penting mulai.

Menganggap Tabungan = Sisa Uang

Dulu saya juga punya mindset yang sama: “Nabung ya kalau ada sisa.”

Dan tebak apa? Nggak pernah ada sisa.

Entah kenapa, setiap kali gajian, saya ngerasa punya hak buat merayakan.

Makan enak, belanja baju, kadang ikut flash sale yang enggak butuh-butuh amat.

“Nabung ntar aja,” pikir saya waktu itu. Tapi kenyataannya?

Habis semua. Bahkan pernah ngutang sebelum tanggal gajian berikutnya.

Itu titik saya sadar: menganggap tabungan sebagai sisa adalah jebakan.

Uang itu bakal cari tempat buat pergi. Selalu ada alasan baru buat ngeluarin.

Padahal, seharusnya tabungan itu prioritas, bukan bonus.

Saya pernah baca prinsip “pay yourself first” dari buku keuangan, dan itu benar-benar ngubah cara saya kelola uang.

Intinya gini: setiap kali Anda gajian, langsung sisihkan sebagian untuk ditabung sebelum bayar tagihan, belanja, atau jajan.

Waktu mulai, saya pakai angka kecil banget. Cuma 10% dari gaji.

Langsung saya transfer ke rekening lain yang khusus buat tabungan.

Dan saya pakai fitur auto-debit, jadi otomatis kepotong setiap tanggal gajian. Tanpa mikir, tanpa drama.

Efeknya? Gila sih. Tabungan mulai naik perlahan, dan yang mengejutkan, saya tetap bisa hidup dengan sisa gaji.

Ternyata selama ini bukan soal cukup atau nggak cukup, tapi soal mindset dan kebiasaan.

Buat Anda yang ngerasa gaji pas-pasan, coba mulai kecil dulu.

Mungkin Rp20.000 seminggu. Tapi lakukan rutin.

Lama-lama jadi kebiasaan, dan Anda bakal kaget lihat hasilnya setelah 6 bulan.

Satu hal lagi: pisahkan rekening tabungan dari rekening utama.

Kalau bisa, pakai rekening yang nggak ada kartu ATM-nya.

Saya pakai cara itu biar nggak tergoda tarik uang tiap mampir ke minimarket.

Kesimpulannya: tabungan bukan sisa, tapi prioritas.

Kalau Anda selalu menunggu ada sisa, besar kemungkinan Anda enggak akan pernah benar-benar nabung.

Tapi kalau mulai dari diri sendiri, meski sedikit, itu langkah awal menuju kestabilan finansial.

BACA JUGA:  Strategi Mengelola Uang Bulanan untuk Freelancer & Pekerja Lepas

Gaya Hidup Konsumtif Demi FOMO

Saya pernah ada di fase itu, selalu pengin ikut-ikutan.

Teman beli HP baru, saya langsung tergoda.

Lihat orang di Instagram nongkrong di kafe lucu, saya buru-buru cari tempat serupa.

Belum lagi soal outfit, rasanya OOTD saya nggak pernah cukup update.

Semua itu demi satu hal: takut ketinggalan alias FOMO.

FOMO itu nyamar rapi banget. Kadang kita nggak sadar udah masuk jebakannya.

Waktu lihat orang lain happy pamer gaya hidup, kita mikir, “Kok hidup gue gitu-gitu aja, ya?”

Padahal, yang kita lihat itu cuma highlight, bukan kenyataan.

Tapi tetap aja, saya jadi sering banget ngeluarin uang buat hal-hal yang, jujur aja, nggak penting-penting amat.

Bertahun-tahun saya bingung kenapa duit saya selalu mepet, padahal gaji nggak kecil.

Sampai saya mulai bikin buat daftar pengeluaran, dan… wow.

Ternyata mayoritas uang saya habis buat gaya hidup.

Makan di luar, beli baju tiap minggu, upgrade gadget padahal yang lama masih bagus.

Kebutuhan dan keinginan itu beda tipis, tapi dampaknya besar.

Butuh makan = iya. Tapi makan di tempat fancy tiap weekend? Itu keinginan.

Butuh pakaian = jelas. Tapi baju baru tiap konten reels? Hmm, mikir dulu.

Saya mulai belajar buat pisahin dua hal itu.

Caranya sederhana: sebelum beli apa pun, saya tanya diri sendiri: “Kalau ini nggak bisa diposting, masih mau beli nggak?”

Kalau jawabannya enggak, berarti itu cuma buat pamer. Dan saya urungkan.

Tapi saya ngerti kok, anak muda juga pengin eksis.

Jadi saya nggak bilang Anda harus anti-sosial atau hidup asketik.

Nih, beberapa tips yang saya pakai biar tetap eksis tanpa bokek:

  • Cari tempat nongkrong yang estetik tapi ramah kantong, banyak banget kalau mau cari.
  • Mix and match baju lama buat konten OOTD. Tambah aksesoris murah bisa bikin beda.
  • Foto konten sekaligus untuk stok seminggu. Nggak perlu nongkrong terus demi konten baru.
  • Gabung komunitas yang nggak fokus di gaya hidup mahal. Saya gabung ke komunitas literasi keuangan, isinya supportif dan nggak pamer.
  • Batasi screen time kalau media sosial mulai bikin insecure. Serius, itu pengaruhnya gede banget.

Intinya, FOMO bikin Anda boros tanpa sadar.

Kalau enggak dikendalikan, bisa jadi sumber stres dan bikin tujuan keuangan makin jauh.

Tapi kabar baiknya: gaya hidup keren itu nggak harus mahal.

Asal pintar-pintar ngatur, Anda tetap bisa tampil kece tanpa bikin dompet sekarat.

Terlalu Cepat Ambil Cicilan

Saya pernah ambil cicilan HP waktu baru kerja.

Alasannya simpel: “Tenor cuma 6 bulan, bunganya kecil kok.”

Tapi ternyata, itu jadi pintu masuk buat kebiasaan buruk yang saya nggak sadari, terlalu cepat nyaman dengan utang konsumtif.

Awalnya cuma HP. Lalu muncul cicilan earphone. Nggak lama kemudian, teman ngajak liburan, dan saya tergoda ambil paylater.

“Bayar nanti aja,” katanya. Eh tahu-tahu, tagihan dari berbagai arah datang bersamaan.

Dan jujur, rasanya stres banget pas sadar bahwa gaji saya udah dipatok duluan sama cicilan-cicilan itu.

Inilah masalahnya: banyak anak muda ambil cicilan bukan karena butuh, tapi karena pengen cepat punya.

Padahal, cicilan itu bukan uang gratis. Itu komitmen bulanan.

Dan kalau jumlah cicilan udah lebih dari 30% penghasilan, bisa-bisa Anda kehilangan fleksibilitas buat kebutuhan lain, termasuk hal mendesak seperti kesehatan atau bantu keluarga.

Yang sering luput dipikirin adalah biaya tersembunyi.

Misalnya bunga, denda keterlambatan, bahkan biaya admin.

Saya pernah hitung, cicilan liburan Rp2 juta bisa jadi Rp2,6 juta dalam 6 bulan karena bunga dan biaya tambahan.

Bayangin deh, liburannya udah selesai, tapi bayarnya masih berbulan-bulan. Duh.

Bukan berarti cicilan itu selalu jelek ya. Ada kok cicilan produktif.

Misalnya cicilan motor buat kerja ojek online, atau laptop untuk kuliah atau kerja freelance. Tapi tetap harus ada pertimbangan matang.

Kalau Anda memang harus ambil cicilan, cek dulu hal ini:

  • Total cicilan per bulan nggak lebih dari 30% penghasilan Anda
  • Pastikan barang yang dicicil punya nilai guna jangka panjang
  • Hitung total biaya cicilan, bukan cuma cicilan per bulan
  • Punya dana darurat, jadi nggak panik kalau suatu bulan penghasilan seret
  • Bandingkan suku bunga, jangan tergoda “diskon palsu” dari iklan

Saran dari saya, kalau bisa beli tanpa cicilan, lebih baik. Nabung dulu itu justru melatih disiplin finansial.

Saya pernah nahan beli kamera selama 5 bulan demi beli cash, dan rasanya puas banget.

Enggak ada beban mental, enggak ada potongan tiap bulan.

Ingat, cicilan itu bukan solusi instan buat hidup enak.

Kalau salah langkah, justru jadi awal dari hidup penuh tekanan.

Jadi sebelum klik “beli sekarang, bayar nanti,” tanya dulu ke diri sendiri: Saya beneran butuh ini, atau cuma pengin keliatan keren?

Karena utang konsumtif itu licin dan susah dikontrol, sekali meluncur, susah berhenti.

BACA JUGA:  Strategi Mengelola Uang Bulanan untuk Freelancer & Pekerja Lepas

Tidak Punya Dana Darurat

Saya dulu termasuk yang mikir: “Ngapain punya dana darurat? Toh saya masih muda, sehat, dan kerjaan lancar.”

Tapi ya… hidup kadang suka kasih plot twist.

Waktu itu, saya kena demam tinggi dan harus rawat inap 3 hari.

BPJS memang bantu, tapi ternyata ada banyak biaya tambahan yang nggak ditanggung.

Tambah lagi, saya nggak kerja karena sakit, jadi pemasukan juga berhenti.

Rasanya stres banget karena enggak punya cadangan dana sama sekali. Harus pinjam orang tua, dan itu bikin malu juga.

Baru di situ saya sadar, dana darurat itu bukan untuk “orang tua,” tapi justru buat kita yang belum punya fondasi kuat.

Risiko bisa datang kapan aja, PHK, sakit, motor rusak, keluarga minta bantuan. Bukan soal “mungkin,” tapi soal “kapan.”

Jadi, berapa sih jumlah dana darurat ideal buat anak muda?

Kalau Anda belum menikah dan masih tinggal sendiri, idealnya sekitar 3–6 kali total pengeluaran bulanan.

Misalnya pengeluaran Anda Rp2 juta sebulan, berarti target dana darurat minimal Rp6–12 juta.

Kalau sudah menikah atau punya tanggungan, bisa naik jadi 6–12 kali lipat.

Kedengarannya besar? Iya, tapi bisa dicicil. Saya dulu mulai dari nol juga. Caranya?

  • Pisahkan rekening dana darurat. Saya bikin satu rekening khusus tanpa kartu ATM. Biar enggak tergoda tarik.
  • Mulai dari kecil tapi rutin. Saya sisihkan Rp20.000 per hari. Dalam sebulan udah dapet Rp600.000.
  • Gunakan auto-debit. Begitu gajian, langsung transfer otomatis. Saya anggap itu “biaya wajib,” bukan sisa.
  • Masukkan bonus atau uang tak terduga. THR, cashback, bahkan uang hasil jual barang bekas saya masukkan semua.

Dan yang penting: jangan pakai dana darurat kecuali benar-benar darurat.

Belanja diskonan, liburan, atau traktir teman itu bukan darurat, ya.

Saya butuh waktu hampir setahun buat capai 3 bulan pengeluaran.

Tapi sejak punya dana darurat, saya merasa jauh lebih tenang.

Nggak panik kalau harus ke dokter. Nggak was-was kalau kerjaan sepi.

Ada rasa aman yang sebelumnya enggak pernah saya rasain.

Intinya, dana darurat itu bukan cuma soal uang tapi soal ketenangan pikiran.

Dan kalau mulai sekarang, walau sedikit, Anda sedang melindungi versi diri Anda di masa depan.

Dan itu keputusan yang bakal Anda syukuri, percaya deh.

Malas Belajar Soal Keuangan

Saya dulu juga termasuk tim “ah, urusan keuangan itu buat orang tua aja.”

Rasanya ribet banget tiap dengar kata “anggaran,” “investasi,” atau “inflasi.”

Bikin ngantuk. Dan tiap kali buka artikel keuangan, isinya penuh istilah yang kayaknya cuma dipahami ekonom atau orang bank.

Tapi kenyataannya, semakin saya cuek soal keuangan, semakin kacau kondisi finansial saya.

Gaji habis entah ke mana. Nggak punya tabungan, utang menumpuk, dan stres karena nggak ngerti cara keluar dari lingkaran itu.

Bukan karena saya bodoh, tapi karena saya nggak tahu mulai dari mana.

Lalu saya ketemu konten YouTube yang bahas keuangan pakai analogi warteg.

Serius, lucu banget dan langsung ngeh! Sejak itu saya sadar: belajar keuangan nggak harus membosankan.

Sekarang banyak banget sumber yang ramah buat anak muda:

  • Podcast keuangan seperti Financial Fitness, cocok didengar pas lagi di jalan atau masak.
  • Konten TikTok dan Instagram Reels yang bahas cara nabung 10 ribu sehari, bedain cicilan baik dan buruk, atau cara beli rumah mulai dari gaji UMR. Ringkas, fun, dan relate.
  • Game simulasi keuangan kayak Cashflow, Monopoly Go, atau aplikasi budgeting gamified (kayak Fortune City) yang bikin belajar ngatur uang jadi kayak main game.
  • Ebook dan artikel ringan di platform kayak ZAP Finance, Finansialku, atau Skill Academy. Banyak yang gratis atau murah banget.
  • Webinar dan kelas online yang dibawain sama anak muda juga. Saya pernah ikut kelas soal “Keuangan untuk Freelancer” yang dikemas pakai meme dan studi kasus nyata. Super seru.

Yang penting bukan seberapa pintar Anda, tapi seberapa mau belajar.

Jangan tunggu sampai dikejar utang baru belajar budgeting.

Jangan tunggu sakit baru ngerti pentingnya dana darurat.

Dan jangan tunggu umur 40 baru mikir pensiun.

Saran saya: mulai dari hal kecil yang Anda suka.

Kalau suka nonton, cari YouTuber keuangan. Kalau suka baca, follow akun edukasi di Instagram.

Kalau suka main game, cari simulasi investasi. Pelan-pelan aja, tapi konsisten.

Karena pada akhirnya, melek finansial itu bukan pilihan, tapi kebutuhan.

Tertipu Investasi Abal-Abal

Waktu itu saya ditawari investasi yang katanya bisa kasih return 30% dalam sebulan.

Serius, 30%! Saya langsung mikir, “Wah, ini dia jalan pintas jadi kaya.”

Nggak mikir panjang, saya setor Rp1 juta. Minggu pertama dapet “bonus.” Minggu kedua masih oke.

Tapi di bulan kedua… hilang. Grup WA dibubarin, admin nggak bisa dihubungi. Saya cuma bisa bengong.

Tertipu investasi bodong itu nyakitin banget, bukan cuma rugi uang, tapi juga ngerasa bodoh karena percaya.

BACA JUGA:  Strategi Mengelola Uang Bulanan untuk Freelancer & Pekerja Lepas

Tapi saya tahu saya nggak sendiri. Banyak anak muda yang juga jadi korban karena tergiur janji cepat kaya.

Sekarang saya udah belajar, kalau ada yang janjiin cuan tinggi dalam waktu cepat tanpa risiko, bisa dipastikan itu scam.

Nggak peduli seberapa meyakinkan presentasinya, seberapa banyak testimoni palsunya, atau seberapa heboh marketingnya.

Biar Anda nggak jatuh ke lubang yang sama, ini ciri-ciri investasi abal-abal yang wajib Anda waspadai:

  • Iming-iming cuan tidak realistis, kayak 20% per bulan atau 100% dalam 3 bulan
  • Nggak punya izin OJK atau Bappebti (ini bisa dicek di website resmi mereka)
  • Skema “jika Anda ngajak orang lain, Anda dapet bonus” — alias money game
  • Janji “cuan pasti” tanpa penjelasan produk yang masuk akal
  • Testimoni palsu atau terlalu sempurna, kadang dari artis atau “influencer” bayaran
  • Tidak transparan soal risiko, legalitas, atau cara uang Anda diolah

Setelah kejadian itu, saya jadi lebih hati-hati.

Saya mulai belajar soal investasi legal yang cocok buat pemula.

Nggak harus besar kok. Yang penting aman dan jelas.

Ini beberapa rekomendasi investasi legal dan aman:

  • Reksadana Pasar Uang – bisa mulai dari Rp10.000, cocok buat nabung jangka pendek
  • Deposito Berjangka – aman, bunga tetap, dan dijamin LPS
  • Emas Digital – bisa dibeli mulai Rp5.000 di aplikasi seperti Tokopedia Emas atau Pegadaian
  • Obligasi Negara Ritel (ORI, SBR, Sukuk) – aman karena dijamin pemerintah
  • Saham Blue Chip – kalau sudah paham, bisa mulai beli saham perusahaan besar seperti BCA atau Telkom

Semua itu bisa dicek legalitasnya. Saya pribadi selalu pastikan aplikasi yang saya pakai terdaftar dan diawasi OJK atau Bappebti.

Saya juga pelajari dulu produknya, nonton review YouTube, baca-baca forum, baru setor uang.

Intinya: jangan tergoda kaya cepat.

Uang yang dikumpulin pelan-pelan tapi aman jauh lebih berharga daripada yang hilang dalam semalam.

Kalau Anda nggak paham investasi itu apa dan bagaimana cara kerjanya, lebih baik tunda dulu daripada nyesel.

Sekarang, setiap kali lihat iklan investasi yang “terlalu bagus buat jadi kenyataan,” saya langsung ingat rasa malu waktu dulu ditipu.

Dan itu cukup jadi alarm buat bilang: “No, thank you.”

Mengabaikan Asuransi Sejak Dini

Dulu saya selalu mikir, “Buat apa asuransi? Saya kan masih muda, sehat, nggak punya penyakit, dan jarang ke rumah sakit.”

Lagian, asuransi tuh kesannya kayak buat orang tua atau yang udah berkeluarga.

Tapi mindset itu langsung kena hantam waktu saya kecelakaan motor, kepleset pas hujan di flyover.

Kelihatannya sepele. Tapi ternyata saya harus rontgen, rawat luka, dan absen kerja seminggu.

Dan itu semua… biayanya lumayan. Gaji bulan itu langsung kepotong buat bayar rumah sakit.

Parahnya lagi, saya belum punya BPJS aktif. Rasanya nyesek banget karena semua itu bisa dihindari kalau saya punya asuransi.

Banyak anak muda mengabaikan asuransi karena merasa “masih kuat.” Tapi yang jarang disadari, risiko itu nggak nunggu kita tua.

Bisa aja jatuh sakit tiba-tiba, kecelakaan kecil, atau bahkan harus opname karena hal yang enggak terduga dan biayanya bisa bikin panik kalau nggak punya backup.

Yang saya pelajari kemudian: asuransi bukan soal usia, tapi soal proteksi.

Bahkan kalau Anda belum punya tanggungan, asuransi tetap penting, minimal buat jaga kesehatan diri sendiri dan mencegah keuangan kacau saat darurat medis.

Kalau Anda bingung mulai dari mana, ini dua jenis asuransi yang menurut saya wajib dipertimbangkan oleh anak muda:

1. Asuransi Kesehatan

  • Pastikan punya minimal BPJS Kesehatan, karena itu perlindungan dasar yang murah tapi sangat berguna.
  • Kalau punya budget lebih, ambil asuransi swasta tambahan yang cover rawat inap, operasi, atau second opinion dokter spesialis.
  • Pilih asuransi cashless (pakai kartu di rumah sakit), supaya praktis dan nggak ribet klaim manual.

2. Asuransi Jiwa (Term Life)

  • “Saya kan belum punya anak.” Nah, ini sering jadi alasan. Tapi kenyataannya, kalau Anda punya orang tua yang tergantung secara finansial, ini penting banget.
  • Pilih polis berjangka (term life) yang premi murah dan proteksinya tinggi. Ada yang mulai dari Rp50 ribu per bulan dengan manfaat Rp100 juta ke atas.
  • Ideal buat freelancer atau pekerja lepas yang nggak dapat tunjangan kantor.

Saya pribadi sekarang bayar sekitar Rp180 ribu per bulan untuk asuransi kesehatan swasta dan term life basic.

Nggak kerasa berat, tapi ngasih rasa aman luar biasa, terutama pas lihat teman saya harus utang karena opname 3 hari dan biaya tembus Rp10 juta.

Intinya gini: asuransi itu kayak payung. Anda mungkin nggak selalu butuh, tapi pas hujan datang, Anda bakal bersyukur udah siap.

Dan percaya deh, lebih baik nyesel punya asuransi tapi nggak terpakai… daripada nyesel nggak punya pas beneran butuh.[]

Terkait

  • Hidup Minimalis: Cara Simpel Menghemat dan Mengatur Uang
  • 6 Langkah Mudah Melunasi Utang Tanpa Harus Jual Aset
  • Strategi Mengelola Uang Bulanan untuk Freelancer & Pekerja Lepas
  • Cara Cek Risiko Investasi Reksadana Sebelum Beli
  • Investasi Modal Rp10 Ribu: Mitos atau Bisa Beneran?
  • Uang vs Kebahagiaan: Sampai Titik Mana Uang Membuat Bahagia?

Filed Under: Atur Keuangan Tagged With: anak muda, anggaran

Primary Sidebar

More to See

Strategi Mengelola Uang Bulanan untuk Freelancer & Pekerja Lepas

Kenapa Banyak Orang Salah Paham soal Asuransi Unit Link?

Copyright © 2025 · DuitElit.com